Tidak Wajib Menghadap ke Ka’bah?
Apakah kita harus wajib menghadap persis ke arah ka’bah?. Karena saat ini
sedang ramai kalibrasi arah kiblat. Nuwun..
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Menghadap kiblat termasuk salah satu
syarat sah shalat. Kecuali ketika shalat khouf (shalat ketika perang), mereka
yang tidak mampu menghadap kiblat karena udzur, atau ketika shalat di atas kendaraan.
Allah berfirman,
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي
السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan menghadapkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Hadapkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram… (QS. al-Baqarah: 144).
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari cara shalat
yang benar, beliau mengatakan,
إِذا قمتَ إِلى الصلاة فأسبغ الوضوء، ثمَّ
استقبِل القبلة فكبِّر
Jika kamu hendak melakukan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian
menghadaplah ke arah kiblat dan lakukan takbiratul ihram. (HR. Bukhari 6667 & Muslim 912).
Kemudian, ulama sepakat bahwa orang yang
bisa melihat Ka’bah atau melihat masjidil haram, dia harus menghadap persis ke
arah ka’bah.
Ibnu Abbas menceritakan,
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam masuk ke dalam Ka’bah, beliau berdoa di sudut-sudut Ka’bah. Beliau tidak
shalat, hingga keluar dari Ka’bah. Setelah beliau keluar, beliau shalat 2
rakaat. Lalu bersabda,
هَذِهِ الْقِبْلَةُ
Inilah kiblat. (HR. Bukhari 398 &
Muslim 3301)
Dalam al-Hawi fi Tafsir al-Quran
dinyatakan,
أمّا إذا كان مشاهدًا لها فقد أجمعوا أنه
لا يجزيه إلا إصابة عين الكعبة
Jika orang itu bisa melihat Ka’bah,
mereka sepakat bahwa shalatnya tidak sah kecuali dengan menghadap persis ke
arah Ka’bah.
Jauh dari Ka’bah, Haruskah Menghadap Tepat ke Arah Ka’bah?
Polemik kiblat mulai diangkat, sejalan
dengan proyek kementrian agama dalam meluruskan arah kiblat di berbagai masjid.
Berbondong-bondong beberapa masjid di sekitar kita, melakukan kallibrasi arah
kiblat. Dan rata-rata, arah bangunan tidak searah dengan kiblat
pasca-kalibrasi.
Akibatnya, pola shaf masjid menjadi
korbannya. Semua serba dimiringkan, yang sedikit mengganggu pemandangan dalam
masjid.
Agar ketika beramal kita memiliki
keyakinan dan pedoman, berikut kita akan simak penjelasan para ulama tentang
arah kiblat, terutama bagi mereka yang jauh dari Ka’bah. Apakah harus tepat ke
arah Ka’bah?
Sebagian ulama dari berpendapat bahwa semua
orang yang shalat, wajib menghadap tepat ke arah Ka’bah. Namun pendapat ini
dinilai sangat lemah oleh ulama lainnya. Bahkan Ibnul Arabi menyatakan, bahwa
itu adalah kewajiban yang tidak mungkin bisa dilaksanakan (kecuali oleh
sebagian kecil orang).
Ketika menyebutkan pendapat ini,
al-Qurthubi menukil keterangan Ibnul Arabi,
قال ابن العربي : وهو ضعيف ; لأنه تكليف
لما لا يصل إليه
Ibnul Arabi menyatakan, “Ini pendapat
lemah. Karena di sana ada unsur taklif (membebani) untuk melakukan sesuatu yang
tidak mungkin diwujudkan.” (Tafsir al-Qurthubi, 2/160)
Sementara itu, mayoritas ulama
mengatakan,
Kewajiban mereka yang jauh dari Ka’bah
adalah menghadap ke arah di mana Ka’bah berada. Dan itulah arti perintah
menghadap kiblat bagi orang yang jauh dari Mekah.
Ini merupakan jumhur ulama dari madzhab
Hanafiyah, Malikiyah, Hambali, dan sebagian Syafiiyah.
Bahkan al-Qurthubi menyatakan bahwa
semua ulama sepakat, bagi orang yang jauh dari Mekah, dia tidak wajib menghadap
persis ke arah Ka’bah. Dalam tafsirnya, al-Qurthubi menyatakan,
وأجمعوا على أن كل من غاب عنها أن يستقبل
ناحيتها وشطرها وتلقاءها
Ulama sepakat bahwa orang yang jauh dari
Ka’bah, dia boleh menghadap ke arah di mana Ka’bah berada. (Tafsir al-Qurthubi,
2/160).
Sebagai contoh warga Indonesia. Kiblat
berada di arah barat. Sehingga menurut mayoritas ulama, masyarakat Indonesia
sudah disebut menghadap kiblat, ketika mereka menghadap ke arah barat.
Diantara dalil yang menguatkan pendapat
ini,
Pertama, firman Allah tentang perintah menghadap kiblat,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ
“Hadapkanlah wajahmu ke arah (Syatral) Masjidil Haram…”
Keterangan:
معنى شَطره، أي: نَحوَه وتلقاءَه
Makna kata ‘Syathrahu’ adalah ke arah di mana masjidil haram berada. (Majmu’ Fatawa, 22/207).
Ayat itu tidak menyatakan, “Hadapkanlah
wajahmu ke Masjidil Haram…”, tapi “Hadapkanlah wajahmu ke arah (Syatral) Masjidil Haram…”. Adanya tambahan kata Syatrah menunjukkan bahwa dalam
menghadap kiblat tidak harus tepat ke arah Ka’bah.
Kedua, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menjelaskan arah kiblat
Beliau berposisi di Madinah, sejauh 490
km di sebelah utama Mekah. Untuk perjalanan sepekan dengan onta di masa itu.
Sehingga kiblat masjid nabawi menghadap ke arah selatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjelaskan arah kiblat dengan sangat
mudah,
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
قِبْلَةٌ
“Antara timur dan barat, itulah kiblat.”
(HR. Nasai 2255, Turmudzi 342, Daruquthni 1071, dan yang lainnya).
Al-Mubarokfuri menyebutkan keterangan
as-Suyuthi,
قال السيوطي ليس هذا عاما في سائر البلاد
وإنما هو بالنسبة إلى المدينة الشريفة ونحوها
As-Suyuthi mengatakan, “Hadis ini tidak
bersifat umum untuk semua negeri. Namun aturan ini berlaku untuk Madinah kota
mulia atau yang posisinya seperti Madinah.” (Tuhfatul Ahwadzi, Syarah Sunan
Turmudzi, 2/266).
Bagi penduduk Madinah, kiblat mereka
menghadap ke selatan. Selama mereka terhitung menghadap ke selatan, mereka
telah menghadap kiblat, sekalipun tidak tepat ke arah Ka’bah.
Ketiga, kejadian perubahan Ka’bah di Masjid Quba
Arah kiblat pernah berpindah dua kali.
Dulu, di awal-awal kaum muslimin hijrah di Madinah, mereka shalat menghadap ke
Baitul Maqdis. Enam bulan berikutnya, Allah perintahkan agar kiblat mereka
menuju ke arah Mekah.
Sehingga dulu para sahabat melakukan
shalat menghadap ke utara (ke Baitul Maqdis), kemudian pindah menghadap ke arah
selatan (ke Mekah).
Suatu ketika, kaum muslimin di masjid
Quba shalat subuh dengan menghadap Baitul Maqdis (utara). Tiba-tiba datang
utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah
mereka shalat. Utusan ini mengatakan,
أَلاَ إِنَّ الْقِبْلَةَ قَدْ حُوِّلَتْ
إِلَى الْكَعْبَةِ
“Sesungguhnya kiblat telah dipindah.”
Akhirnya, para sahabat yang sedang
melaksanakan shalat subuh berjamaah memutar arah tubuhnya. Imam berputar, yang
awalnya menghadap ke utara menjadi shalat jamaah menghadap ke selatan. Ini
semua mereka lakukan tanpa membatalkan shalat. (HR. Muslim 1208).
Anda bisa pastikan, mereka ketika
berputar, tidak akan 100% tepat ke arah Ka’bah. Itu sesuatu yang sangat
mustahil. Namun shalat mereka tetap sah, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyuruh mereka untuk mengulangi shalatnya.
Keempat, islam adalah agama yang sangat mudah, tidak merepotkan penganutnya.
Ada banyak ayat yang menegaskan bahwa
islam itu mudah, tidak menyulitkan. Diantaranya,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ
مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78).
Allah juga berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Allah tidak ingin menyusahkan
kalian. (al-Baqarah: 185).
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ
الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Agama itu mudah. Tidak ada seorang-pun
yang membuat sulit agama, kecuali dia akan sangat kerepotan.” (HR. Bukhari 39
& an-Nasai 5051).
Ketika setiap orang yang hendak shalat
harus melakukan kalibrasi (penyesuaian) arah kiblat, tentu saja ini akan sangat
merepotkan dan ini bertentang dengan prinsip syariat yang memberikan kemudahan.
Mungkin kita bisa melakukannya ketika di
masjid yang arah kiblatnya telah disesuaikan. Masalahnya, kita mengerjakan
shalat tidak hanya di masjid. Bagaimana jika shalat itu di rumah, atau di
tempat yang arah kiblatnya belum disesuaikan?
Bukankah Sudah ada Kompas?
Ada beberapa jawaban untuk menjawab
pertanyaan ini,
Pertama, Tidak mungkin setiap shalat, kita harus membawa kompas. Dan ini akan
sangat merepotkan. Dan ini bertentangan dengan prinsip syariat islam yang memberi
kemudahan.
Kedua, di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabiin, para
ulama imam madzhab belum ada kompas. Kompas baru ditemukan abad 9 M oleh orang
cina. Mereka menggunakan jarum yang mengambang, sebagaimana diuraikan dalam buku Loven Heng. Pelaut Persia memperoleh kompas dari orang Cina dan
kemudian memperdagangkannya.
Sementara pelaksanaan syariat yang
paling ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan keterbatasan
alat navigasi ketika itu, sangat memungkinkan mereka shalat tidak tepat
menghadap kiblat. Apakah berarti shalat mereka tidak sah??
Ketiga, ketika Allah menurunkan al-Quran di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Dia tahu bahwa di masa depan ada alat navigasi yang canggih. Namun
Allah tidak memerintahkan kita untuk menghadap tepat ke arah kiblat.
Yang Allah perintahkan adalah menghadap
ke arah di mana kiblat berada (Syathral masjidil
haram).
Keempat, sekalipun sudah di kalibrasi, orang yang shalat tidak akan lepas dari
faktor kesalahan dan penyimpangan. Meskipun hanya 1o atau 2o derajat. Sementara jarak Indonesia
dengan Mekah, lebih dari 7900 km. Hanya dengan menyimpang 1 derajat, anda telah
menyimpang sejauh 544 km.
Sementara kita tidak mungkin bisa tepat
100% ke arah Ka’bah.
Semua Mengakui Tidak Mungkin Bisa Tepat
Sejatinya semua ulama sepakat bahwa
tidak mungkin seseorang bisa menghadap kiblat tepat ke arah Ka’bah. Sampaipun
mereka yang berpendapat disyariatkan untuk tepat menghadap Ka’bah, maksud
mereka adalah secara niat.
Dalam al-Hawi fi Tafsir al-Quran
dinyatakan,
وكأنّ الفريق الأول حين أحسوا صعوبة
مذهبهم، خصوصًا من غير المشاهد لها قالوا: إن فرض المشاهد للكعبة إصابةُ عينها
حسًّا، وفرض الغائب عنها إصابة عينها قصدًا
Para ulama yang berpendapat harus tepat
ke arah Ka’bah, mereka merasa kesulitan untuk menerapkan pendapatnya. Terutama
bagi mereka yang jauh dari Ka’bah. Mereka mengatakan,
‘Wajib
bagi yang melihat Ka’bah untuk tepat menghadap Ka’bah. Sementara bagi yang
tidak melihat Ka’bah harus berniat tepat ke arah Ka’bah.’
Kemudian dikomentari penulis al-Hawi fi
Tafsir,
وبعد هذا يكاد يكون الخلاف بين الفريقين
شكليًا، لأنهم صرحوا بأنّ غير المشاهد لها يكفي أن يعتقد أنه متوجه إلى عين الكعبة
Dengan ini kita bisa simpulkan bahwa
perbedaan pendapat kedua madzhab hanya perbedaan luar (tetapi hakekatnya sama).
Karena mereka menegaskan bahwa mereka yang tidak melihat Ka’bah cukup meyakini
bahwa dirinya telah menghadap tepat ke arah Ka’bah. (al-Hawi fi tafsir al-Quran
al-Karim).
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber: http://www.konsultasisyariah.com/wajib-menghadap-ke-kabah/ diakses hari Rabu, 24 Juni 2015
Tanpa editing.