Thursday 31 January 2013

Beginilah gambaran perubahan pada elemen kurikulum 2013 yang baru


Elemen Deskripsi
SD SMP SMA SMK
Struktur Kurikulum (Matapelajaran dan alokasi waktu) •Holistik dan integratif berfokus kepada alam, sosial dan budaya •TIK menjadi media semua matapelajaran •Perubahan sistem: ada matapelajaran wajib dan ada matapelajaran pilihan •Penyesuaian jenis keahlian berdasarkan spektrum kebutuhan saat ini
•Pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan sains •Pengembangan diri terintegrasi pada setiap matapelajaran dan ekstrakurikuler •Terjadi pengurangan matapelajaran yang harus diikuti siswa •Penyeragaman mata pelajaran dasar umum
•Jumlah matapelajaran dari 10 menjadi 6 •Jumlah matapelajaran dari 12 menjadi 10 •Jumlah jam bertambah 2 JP/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran •Produktif disesuaikan dengan tren perkembangan Industri
•Jumlah jam bertambah 4 JP/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran •Jumlah jam bertambah 6 JP/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran •Pengelompokan mata pelajarn produktif sehingga tidak terlau rinci pembagiannya

Proses Pembelajaran • Standar proses yang semula terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta.
•Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat
•Guru bukan satu-satunya sumber belajar.
•Sikap tidak diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan teladan
•Tematik dan terpadu •IPA dan IPS masing-masing diajarkan secara terpadu •Adanya mata pelajaran wajib dan pilihan sesuai dengan bakat dan minatnya •Kompetensi keterampilan yang sesuai dengan standar industri

Penilaian •Penilaian berbasis kompetensi
•Pergeseran dari penilain melalui tes [mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja], menuju penilaian otentik [mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil]
•Memperkuat PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal)
•Penilaian tidak hanya pada level KD, tetapi juga kompetensi inti dan SKL
•Mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama penilaian
•Ekstrakurikuler •Pramuka (wajib) •Pramuka (wajib)
•UKS •OSIS
•PMR •UKS
•Bahasa Inggris •PMR
•Dll
•Perlunya ekstra kurikuler partisipasi aktif siswa dalam permasalahan kemasyarakatan (menjadi bagian dari pramuka)
>>Baca Selengkapnya:....

Inilah alasan mengapa kurikulum perlu diganti

>>Baca Selengkapnya:....

Rasionalitas Penambahan Jam Pelajaran dalam Kurikulum Baru Tahun 2013

Di antara alasan penambahan jam pelajaran dalam kurikulum 2013 adalah berdasarkan rasionalitas sebagai berikut:
No Rasionalitas
1 Perubahan proses pembelajaran [dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu] dan proses penilaian [dari berfokus pada pengetahuan melalui penilaian output menjadi berbasis kemampuan melalui penilaian proses dan output] memerlukan penambahan jam pelajaran
2 Kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran [Knowledge is Power Program (KIPP) dan Massachusettes Extended Learning Time (MELT) di AS dan Korea Selatan]
3 Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat
4 Walaupun pembelajaran tatap muka di Finlandia relatif singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial
>>Baca Selengkapnya:....

Wednesday 30 January 2013

Mengapa Kurikulum diganti?

Mungkin anda bingung, mengapa kurikulum itu cepat ganti, atau bentar-bentar ganti. Konon inilah permasalahannya.

NO PERMASALAHAN
1 Konten kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak.
2 Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
3 Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
4 Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum.
5 Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
6 Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru.
7 Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (sikap, keterampilan, dan pengetahuan) dan belum tegas menuntut adanya remediasi secara berkala.
8 Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.
Apa ini artinya tim penyusun KTSP kurang cerdas mengantisipasi permasalahan???? Kok salah mlulu.
>>Baca Selengkapnya:....

Saturday 26 January 2013

Hati yang lembut

Kisah ini menceritakan seorang hamba Allah yang sangat peka terhadap firman Tuhannya. Pemahamannya terhadap Al-Quran dan rasa takutnya terhadap Sang Pencipta menyebabkan hatinya sangat lululh terhadap Al-Quran. Dia bisa jatuh tersungkur, menangis tersedu-sedu, pingsang, bahkan hingga mati, karena mendengar lantunan Al-Quran. Bukan dibuat-buat, tapi betul-betul buah dari ketakwaannya.

Barangkali merekalah orang yang dimaksud dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَقْوَامٌ أَفْئِدَتُهُمْ مِثْلُ أَفْئِدَةِ الطَّيْرِ
“Akan masuk surga sekelompok orang, hati mereka seperti hati burung.” (HR. Ahmad 8382 & Muslim 2840)

Mereka orang yang hatinya sangat lunak, dipenuhi dengan ketakutan kepada Sang Pencipta. Sebagaimana burung. Binatang yang sangat peka dan mudah kaget.
Diantara hamba Allah yang bisa mencapai derajat semacam ini adalah Ali bin Fudhail bin Iyadh rahimahullah. Beliau digelari qatilul qur’an (orang yang ‘dibunuh’ Al-Quran). Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (6/460) mengatakan:
وسمي علي بن الفضيل قتيل القرآن
“Ali bin Fudhail digelari qatilul quran”

Beliau bukan ahlul bait. Bukan pula keturunan kerajaan. Beliau putra seorang ulama yang dikenal sangat zuhud, Fudhail bin Iyadh rahimahullah.
Diceritakan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/302), dari Muhammad bin Bisyr Al-Makki, beliau bercerita:

Pada suatu hari kami pernah berjalan bersama Ali bin Fudhail. Kemudian kami melewati daerah Bani Al-Harits Al-Makhzumi, yang pada saat itu ada seorang guru  yang sedang mengajar anak-anak. Kemudian sang guru membaca firman Allah:
لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى
“Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (QS. An-Najm: 31)
Tiba-tiba Ali bin Fudhail langsung teriak dan jatuh pingsan. Datanglah ayahnya dan mengatakan: “Sungguh, dia terbunuh karena Al-Quran.”
Kemudian dia dibawa pulang. Salah seorang yang membawanya pulang bercerita bahwa Fudhail, ayahnya mengabarkan, Ali tidak bisa shalat pada hari itu, shalat dzuhur, asar, maghrib, dan isya. Pada tengah malam dia baru sadar.

Di lain kasus, Ibnu Qudamah menceritakan kisah seorang pemuda dalam kitabnya At-Tawwabin. Seorang pemuda dari Al-Azd. Beliau menghadiri majlis ilmu. Ketika beliau mendengan ada orang yang membaca firman Allah:
وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ
Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya. (QS. Ghafir: 18)
Tiba-tiba, beliau jatuh tersungkur, pingsan. Akhirnya dia diangkat di tengah keramaian banyak orang dalam kondisi pingsan.
Ya rabbi, jadikanlah kami hamba-Mu yang lunak hatinya, dan mencintai mereka yang lunak hatinya.
Sumber Artikel: www.KisahMuslim.com
>>Baca Selengkapnya:....

Cerita hikmah jenaka

-Seorang yang miskin meminta kepada orang pedalaman agar kebutuhannya dipenuhi. Orang pedalaman tersebut berkata, “Saya tidak mempunyai apa pun untuk diberikan kepada orang lain. Harta yang saya punya, saya sendirilah yang paling berhak menggunakannya. Si peminta berkata, “Di manakah orang-orang yang mengutamakan (orang lain) daripada dirinya sendiri?” Orang pedalaman pun menimpali. “Mereka pergi bersama orang-orang yang tidak meminta secara paksa kepada orang lain.”

-Ada orang bodoh –dia menghindari ghibah (menggunjing)- saking menghindarinya, ia pun menjadi orang yang berlebihan. Ia ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang iblis?” Dia menjawab, “Saya sering mendengar pembicaraan mengenai Iblis. Allah yang Maha Mengetahui rahasia iblis.

-Seorang laki-laki berangkat untuk berjuang di jalan Allah. Dia meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ada sebagian perempuan yang lemah iman berkata kepada istri pejuang tersebut, “Wahai ibu yang miskin! Siapa orang yang akan membiayai keluargamu serta merawat anak-anakmu jika ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan suamimu meninggal dunia dan tercatat sebagai orang yang mati syahid?” Perempuan mukminah itu pun berkata lantang dengan penuh kemantapan, keimanan, dan ketenangan, “Sungguh, yang saya tahu suamiku adalah tukang makan. Saya tidak mengenal dia sebagai pemberi rezeki. Jadi, apabila tukang makan meninggal dunia, maka Sang Pemberi Rezeki masih tetap hidup.”

-Pada suatu hari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu terdiam di depan Ka’bah, lalu dia berkata kepada para sahabatnya, “Bukankah jika seseorang hendak melakukan perjalanan, pastinya dia mempersiapkan bekal?” Mereka menjawab, “Iya, benar.” Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Padahal perjalanan akhirat lebih jauh daripada perjalanan kalian ini.” Mereka pun berkata, “Tunjukkan kepada kami bekal untuk ahirat!” Dia berkata, “Lakukanlah ibadah haji untuk menghadapi hal-hal besar, laksanakanlah shalat dua rakaat di malam yang gelap untuk menghadapi kesulitan di alam kubur, dan berpuasalah pada hari yang sangat terik untuk menghadapi lamanya hari kiamat.”

-Al-Jahizh, seorang penulis, ahli sastra Arab terkenal adalah seorang yang buruk rupa, tetapi dia sombong meskipun tentang fisiknya. Al-Jahizh pernah bercerita mengenai dirinya sendiri. Dia berkata, “Saya pernah berdiri di depan pintu rumahku, lalu ada seorang perempuan yang menghampiriku.” Perempuan tersebut berkata, “Saya butuh kepadamu. Saya ingin engkau ikut bersamaku untuk suatu kepentingan.” Al-Jahizh melanjutkan ceritanya, “Saya pergi bersamanya sehingga kami sampai ke toko emas. Lalu perempuan tersebut berkata kepada tukang emas, ‘Seperti ini,’ sambil menunjuk ke arahku. Kemudian dia meninggalkanku dan pergi. Lalu saya bertanya kepada tukang emas, ‘Apa maksud dari perkataan perempuan tersebut?” Tukang emas menjelaskan, “Perempuan tersebut pernah membawa batu mata cincin kepadaku dan menyuruhku agar aku melukiskan gambar setan di atasnya, lalu saya berkata kepadanya, “Wahai nona! Saya belum pernah melihat setan sama sekali.’ Lantas dia datang lagi membawamu dan mengatakan apa yang telah kamu dengar tadi.”

-Isham bin Yusuf melewati Hatim al-Asham di majelis pengajiannya, lalu Isham bertanya, “Wahai Hatim! Apakah kamu melaksanakan shalat dengan baik?” Dia menjawab, “Iya.” Isham bertanya lagi, “Bagaimana tata caramu melaksanakan shalat?” Hatim al-Asham menjawab, “Saya berdiri berdasarkan perintah, saya berjalan dengan rasa khasyyah (takut kepada Allah), saya masuk (ke dalam shalat) dengan niat, saya bertakbir dengan mengagungkan, saya membaca Alquran dengan tartil dan memikirkan artinya, saya melakukan ruku’ dengan khusyuk, saya bersujud dengan tawadhu, saya duduk tasyahhud dengan sempurna, saya mengucap salam dengan berniat, saya mengakhiri shalat dengan ikhlash kepada  Allah Subhanahu wa Ta’ala, saya kembali pada diri sendiri dengan rasa takut, saya takut bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalatku. Saya menjaganya dengan susah payah sampai mati.” Isham berkata, “Ya sudah, bicaralah. Engkau melaksanakan shalat dengan baik.”

-Juha sedang pergi ke pasar untuk membeli keledai. Dia bertemu temannya. Temannya bertanya, “Kamu mau pergi ke mana?” Juha menjawab, “Ke pasar untuk membeli keledai.” Temannya berkata, “Katakanlah, ‘Insya Allah’.” Juha menanggapi, “Hal ini bukan tempatnya mengucapkan insya Allah. Di sakuku ada uang, sedangkan keledai ada di pasar.” Ternyata, ketika dia telah berada di pasar, tiba-tiba uangnya dicuri orang. Dia pun pulang dengan menyesal, lalu temannya bertanya kepadanya, “Hai Juha, mana keledainya?” Dia menjawab, “Insya Allah, uangku dicuri orang.”

-Ada seorang yang bodoh melihat ke sumur. Dia melihat wajahnya di dalam sumur. Lalu dia kembali menemui ibunya, “Hai ibu, di dalam sumur ada pencuri.” Lantas ibunya datang dan melihat sumur. Dia berkata, “Iya, benar di dalam sumur ada pencuri beserta pelacur.” (ungkapan sindiran atas kebodohan anaknya.)

-Seorang laki-laki berkata kepada Hisyam al-Quthi, Kam ta’uddu (Berapa kamu menghitung)?” Hisyam menjawab, “Dari satu sampai satu juta bahkan lebih banyak lagi.” Dia berkata, “Bukan itu maksudku.” Hisyam menimpali, “Lalu apa yang kamu maksud?” Dia berkata lagi, “Kam tau’ddu minas sinni (Berapa hitungan gigi)?” Hisyam menjawab, “Ada tiga puluh dua. Yang enam belas di bagian atas dan enam belas lagi di bagian bawah.” Dia berkata, “Bukan itu yang aku kehendaki dan aku maksud.” Hisyam menimpali, “Lalu apa yang kamu maksud?” Dia berkata lagi, “Kam laka minas sinin (Berapa banyak gigimu)?” Hisyam menjawab, “Saya tidak mempunyai sedikit pun. Semuanya milik Allah ‘Azza wa Jalla.” Dia berkata lagi, “Fa ma sinnuka (Apa gigimu)?” Hisyam menjawab, “Tulang.” Dia berkata lagi, “Faibnu kam anta (kamu ini anak berapa orang)?” Hisyam menjawab, “Anak dua roang, yaitu Ayah dan Ibu.” Dia berkata lagi, “Fa kam ata alaika (berapa banyak yang membinasakanmu)?” Hisyam menjawab, “Katakanlah, ‘Kam Madha min umrika (Berapa banyak umurmu yang telah berlalu)’?”

-Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang mempunyai keinginan kuat untuk shalat berjamaah. Kemudian ada salah seorang yang tidak ikut shalat berjamaah memasuki rumahnya, dan menzinai istri pemilik rumah tersebut. Tiba-tiba ada anjing yang melompat menyerang keduanya sehingga keduanya mati. Kemudian pemilik rumah pulang dan mendapati keduanya telah tidak bernyawa.
Lantas dia mendendangkan syair berikut:
Anjing selalu memelihara tanggung jawabnya kepadaku, melindungiku, dan menjaga janjiku. Sedangkan kekasih malah berkhianat.
Sungguh heran, seorang kekasih malah merusak kehormatanku
Dan sungguh heran terhadap anjing bagaimana ia dapat menjaga

-Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berbincang-bincang dengan seseorang. Beliau bertanya kepadanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Jamrah (bara api).” Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Anaknya siapa?” “Anak Syihab (cahaya api)” jawabnya. Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kamu dari golongan siapa?” Dia menjawab, “Dari Hurqah (kebakaran).” Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Di mana tempat tinggalmu?” Dia menjawab, “Di daerah Harratin Nar (panasnya api).” Tepatnya di sebelah mana, “Di daerah Dzati Lazha (yang mempunyai nyala api).” Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Segera susul keluargamu. Mereka mengalami kebakaran.” Lelaki itupun bergegas menuju ke rumahnya. Dan ternyata memang terjadi seperti apa yang disampaikan Umar radhiyallahu ‘anhu.

-Al-Ahsmu’i berkata, “Saya pernah berkata kepada seorang anak muda dari kalangan anak-anak Arab, ‘Apakah kamu senang jika kamu mempunyai seratus ribu dirham, tetapi kamu bodoh?” Dia menjawab, “Demi Allah, tidak.” Saya bertanya lagi, “Mengapa?” Dia menjawab, “Saya khawatir kebodohanku berbuat jahat kepadaku, sehingga hartaku lenyap dan tinggal bodohnya saja.”

-Hakim berkata, “Jauhilah tujuh perkara, niscaya ragamu dan hatimu akan merasa lega. Di samping itu, kehormatanmu dan agamamu akan selamat.
Janganlah engkau bersedih atas sesuatu yang hilang dari dirimu.
Jangan memikul kesedihan atas sesuatu yang belum terjadi.
Janganlah engkau mencela orang atas sesuatu yang ada pada dirimu yang sama dengan orang lain.
Jangan engkau minta imbalan atas sesuatu  yang tidak pernah engkau lakukan.
Janganlah engkau marah kepada orang yang tidak terpengaruh dengan kemarahanmu.
Janganlah engkau memuji orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya tidak sesuai dengan apa yang dipujikan kepadanya.”

-Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tiada suatu musibah yang menimpaku melainkan aku melihat ada tiga hikmah di baliknya yang merupakan kenikmatan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku. Pertama, musibah ini tidak terkait dengan agamaku. Sebab, musibah mengenai agama merupakan musibah besar. Terkadang dengan musibah ini seseorang merugi di dunia dan akhirat. Kedua, musibahnya tidak lebih besar dari itu. Tidak ada satu pun musibah melainkan ada yang lebih besar lagi. Ketiga, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kesabaran kepadaku untuk menghadapinya. Sungguh, kesabaran dan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan penyumbat rasa aman yang dapat meringankan musibah yang menimpa.”

-Ibnu Khalikan mengatakan, “Kami dengar dari sekelompok orang yang dapat dipercaya bahwa mereka mempunyai desa yang dikenal dengan nama ‘Dairu Abi Salamah’. Di dalamnya terdapat seorang laki-laki yang fasih lisannya tetapi dia berlimpah kebohongan dan kebodohan. Pada suatu hari dia menyebtukan siwak dan keutamaan yang ada di dalanya. Dia berkata, ‘Demi Allah, saya tidak bersiwak kecuali dari dubur,’ lalu dia mengambil siwak dan membiarkan pada duburnya, sehingga siwak itupun menyakitkannya pada malam harinya. Hal tersebut masih berlangsung sampai sembilan bulan. Dia mengeluhkan rasa sakit pada perut dan duburnya. Dia merasakan sakitnya orang melahirkan. Kemudian dia melahirkan binatang yang bentuknya seperti tikus dan kepalanya seperti ikan. Binatang tersebut mempunyai taring yang nampak, berekor panjang, empat jari, dan dubur yang mirip dengan dubur kelinci. Ketika dia melahirkannya, binatang tersebut menjerit tiga kali. Lantas putri lelaki tersebut berdiri, kemudian meremukkan kepala binatang tersebut hingga mati. Lelaki tersebut masih hidup dua hari sejak binatang tersebut mati. Dia berkata, “Binatang ini membunuhku dan memotong usuku.’ Sekelompok orang dari daerah tersebut menyaksikan binatang tersebut pada tahun 665 H.”

-Seorang lelaki thufaili (orang yang suka ikut-ikutan dalam suatu jamuan makan tanpa diundang) melihat serombongan orang yang sedang bepergian. Dia mengira bahwa rombongan tersebut hendak menghadiri undangan walimah (jamuan makan). Dia pun mengikuti mereka. Selidik punya selidik, ternyata mereka adalah rombongan penyair yang hendak mendatangi raja. Ketika masing-masing penyair telah mendendangkan syairnya dan mengambil hadiahnya, maka tersisalah lelaki thufaili tadi. Dia hanya duduk terdiam. Lalu dikatakan kepadanya, “Ayo dendangkan syairmu!” Dia menjawab, “Saya bukan seorang penyair.” Dia ditanya, “Lalu kamu siapa?” Dia menjawab, “Termausk orang-orang yang sesat, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.” (QS. Asy-Syu’ara: 224)
Kontan sang raja tertawa atas jawaban tersebut. Dia memerintahkan agar lelaki tersebut juga diberi hadiah.
Al-Aqra’ bin Habis (salah satu amir di negeri Islam) menghadap Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ternyata dia mendapati Umar radhiyallahu ‘anhu sedang bermain dengan anak-anaknya. Anak-anaknya bergantungan di lengannya dan di atas punggungnya. Lantas al-Aqra bertanya, “Apa-apaan ini, wahai Amirul Mukminin? Apakah memang seperti ini yang Anda lakukan bersama anak-anak Anda?” Umar bangun dan bertanya kepada al-Aqra’, “Hai al-Aqra’, kamu sendiri apa yang kamu lakukan di rumah?” Dia menjawab, “Ketika aku masuk rumah, orang yang berdiri langsung duduk, orang yang berbicara langsung diam, dan orang yang tidur langsung bangun. Saya mempunyai sepuluh anak, tetapi saya tidak pernah mencium satu pun dari mereka.” Lantas Umar berkata, “Kalau begitu kamu tidak layak menjadi penguasa bagi kaum muslimin.” Selanjutnya Al-Aqra dipecat.

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
>>Baca Selengkapnya:....

Kisah Hikmah dan Unik

- Pada suatu hari Imran bin Haththan menemui istrinya. Secara fisik, Imran memang buruk, berjerawat dan pendek. Sedangkan istrinya cantik jelita. Tiap kali dia memandang istrinya, si istri kelihatan semakin cantik dan jelita. Dia tidak dapat menahan diri dari memandang istrinya terus-menerus. Lantas istrinya berkata, “Ada apa dengan dirimu?” Dia menjawab, “Segala puji bagi Allah. Demi Allah, kamu perempuan yang cantik.” Si istri berkata, “Bergembiralah, karena sesungguhnya saya dan kamu akan masuk surga.” Dia bertanya, “Dari mana kamu tahu hal itu?” Istrinya menjawab, “Sebab, kamu telah dianugerahi istri seperti aku, dan engkau bersyukur. Sedangkan aku diuji dengan suami seperti kamu, dan aku bersabar. Orang yang bersabar dan bersyukur ada di dalam surga.”

- Dikatakan kepada As’ab, “Engkau telah tua renta. Sampai seusia ini apakah engkau belum hafal hadis sedikit pun?” Dia pun berkata, “Demi Allah, bahkan tidak ada seorang pun yang pernah mendengar (hadis) dari Ikrimah seperti apa yang saya dengar darinya.” Mereka berkata, “Sampaikanlah hadis tersebut kepada kami.” Dia berkata, “Saya pernah mendengar Ikrimah menceritakan sebuah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda, ‘Ada dua hal yang tidak akan berkumpul pada diri seorang muslim.’ Ikrimah lupa satu bagian dan saya lupa bagian satunya lagi.”

- Seorang perempuan mukminah pernah ditanya mengenai kosmetik yang dipakainya. Dia berkata, “Saya menggunakan kejujuran untuk bibirku, Alquran untuk suaraku, kasih sayang untuk mataku, kebaikan untuk tanganku, istiqamah untuk fisikku, dan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk hatiku.”

- Harun ar-Rasyid pernah berkata kepada Qadhi Abu Yusuf, seorang qadhi, “Apa pendapatmu mengenai Faludzat dan Lauzaj (makanan sejenis puding). Manakah di antara keduanya yang lebih enak dan lebih manis?” Qadhi Abu Yusuf menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, saya tidak akan memutuskan atau menghukumi dua hal yang tidak hadir di sisiku.” Lantas ar-Rasyid memerintahkan agar kedua makanan tersebut dihadirkan. Kemudian Qadhi Abu Yusuf menyantap makanan ini sesuap dan makanan satunya lagi sesuap sehingga beliau memakan separuh dari keduanya. Selanjutnya dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Saya belum pernah melihat dua pihak yang bersengketa berdebat lebih dahsyat daripada keduanya. Ketika saya hendak memutuskan untuk memenangkan salah satunya, pihak yang lain mengemukakan hujjahnya.”

- Ada seorang laki-laki tinggal di sebuah rumah sewaan. Kayu atapnya telah usang dan rusak. Atapnya banyak yang hancur. Ketika pemilik rumah datang meminta uang sewa, maka si penyewa berkata, “Perbaiki dahulu atap ini, karena sudah rusak.” Dia menjawab, “Jangan khawatir. Tidak apa-apa kok. Atap itu sedang bertasbih kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Si penyewa menimpali, “Saya khawatir kalau atapnya punya rasa khasyyah (takut kepada Allah) lantas dia bersujud.”

- Seorang penduduk pedalaman berhenti di suatu kaum, lalu dia menanyakan nama-nama mereka. Salah seorang dari mereka berkata, “Nama saya Watsiq.” Lainnya mengatakan, “Nama saya Mani’.” Lainnya lagi berkata, “Nama saya Tsabit.” Orang keempat berkata, “Nama saya Syadid.” Lantas orang pedalaman tersebut berkata, “Saya menduga bahwa kunci-kunci dibuat hanya dengan nama-nama kalian.”
- Al-Ashmu’i mengisahkan, “Saya pernah masuk ke daerah pedalaman. Ternyata ada seorang perempuan cantik yang mempunyai suami jelek. Lalu saya bertahan kepadanya, “Bagaimana kamu bisa merelakan dirimu dimiliki oleh orang seperti ini?” Dia menjawab, “Coba dengarkan! Barangkali dia berbuat baik dalam hubungan antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sang Penciptanya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan diriku sebagai pahalanya. Dan barangkali aku berbuat tidak baik, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai siksa bagiku.”

- Ibnu as-Sammak az-Zahid berkata kepada Harun ar-Rasyid –sebelumnya dia meminta segelas air untuk diminum, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya Anda dihalangi untuk meneguk minuman ini. Berapa Anda berani membelinya?” Beliau menjawab, “Dengan semua kepemilikanku.” Ibnu as-Sammak melanjutkan, “Seandainya Anda dihalangi mengeluarkan minuman tersebut dari diri Anda (maksudnya tidak bisa kencing). Dengan berapa banyak Anda rela menebus diri Anda?” Beliau menjawab, “Dengan semua kepemilikanku.” Ibnu as-Sammak berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Tidak ada sisi kebaikan harta yang tidak sebanding dengan minuman dan air kencing.”

- Seorang penduduk pedalaman datang ke sebuah daerah. Ada anak-anak yang sedang bermain. Mereka melemparinya dengan beberapa batu. Ternyata ada sebauh batu yang tepat mengenai kepalanya, sehingga kepalanya bocor dan terluka. Lantas dia menghadap kepada penguasa daerah tersebut untuk mengadukan kejadian tersebut. Sang penguasa bertanya kepadanya, “Pada hari apa engkau datang?” Dia menjawab, “Pada saat kesulitan.” Sang penguasa melanjutkan, “Di daerah mana engkau singgah?” Dia menjawab, “Di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman.” Lantas sang penguasa tertawa dan memberi bantuan kepadanya.

- Seorang laki-laki meminta izin kepada Amirul Mukminin. Abu Ja’far al-Manshur untuk memperlihatkan kelihaiannya dalam ber-atraksi. Beliau pun memberinya izin. Lantas lelaki tersebut mengambil banyak piring besar. Lalu dia mengombang-ambingkannya ke udara dengan kelihaian yang luar biasa tanpa ada satu pun yang jatuh ke tanah. Abu Ja’far berkata, “Lalu apa lagi?” Kemudian dia mengeluarkan banyak tongkat. Pada tiap-tiap ujung tongkat terdapat tempat untuk menyusun tongkat lainnya. Selanjutnya dia melempar tongkat pertama dan langsung menancap di dinding. Lantas dia melempar tongkat kedua dan masuk ke lubang tongkat pertama, dan demikian seterusnya sampai seratus tongkat. Tidak ada satu pun yang jatuh ke tanah. Setelah aksinya selesai dia berharap agar Amirul Mukminin dapat menghargai kelihaiannya. Akan tetapi, al-Manshur justru memanggil para algojonya seraya berkata, “Tangkap lelaki ini dan berilah dia seratus cambukan.” Lelaki itupun berteriak, “Mengapa engkau melakukan ini, Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Karena kamu telah menyia-nyiakan waktu kaum muslimin untuk hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.”

- Ditanyakan kepada Hakim, “Apa sesuatu yang paling baik untuk seseorang?” Dia menjawab, “Diam yang membuatnya selamat.” Dilanjutkan lagi, “Jika masih tidak ada juga?” Dia menjawab, “Kematian yang menjadikan para hamba dan negara-negara beristirahat.”

- Suatu ketika al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi sedang mandi di Teluk Persia dan dia hampir tenggelam, lalu ada seseorang yang menyelamatkannya. Ketika orang tersebut telah berhasil membawanya ke darat, al-Hajjaj berkata kepadanya, “Mintalah apa saja yang kamu inginkan, niscaya permintaanmu akan dipenuhi.” Orang tersebut bertanya, “Kamu ini siapa? Kok akan memenuhi apa saja yang aku minta?” Al-Hajjaj menjawab, “Aku adalah al-Hajjaj ats-Tsaqafi?” Dia pun lalu berkata, “Permintaanku hanya satu. Demi Allah, saya minta kepadamu agar kamu tidak menceritakan kepada seorang pun bahwa aku telah menolongmu.”

- Diceritakan bahwa seorang pedalaman bertanya kepada penduduk Bashrah, “Siapa pemimpin kalian?” Mereka menajwab, “al-Hasan.” “Kenapa dia dapat menjadi pemimpin kalian?” Mereka menjawab, “Karena orang-orang membutuhkan ilmunya, sedangkan beliau tidak membutuhkan dunia mereka.”

- Dikatakan kepada seseorang yang salih, “Sungguh, saya mengeluhkan penyakit jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lantas apa obatnya?” kemudian hamba yang shalih tersebut menjawab, “Wahai saudara! Tetaplah kamu dengan akar-akar keikhlasan, daun kesabaran, dan perasaan buah tawadhu. Letakkanlah itu semua di dalam wadah takwa, tuangkanlah air khasyyah (takut kepada Allah), nyalakan padanya api kesedihan, letakkan dengan saringan muraqabah, raihlah dengan telapak tangan kejujuran, minumlah dengan gelas istighfar, berkumurlah dengan wara (menjauhi perbuatan maksiat), dan jauhkanlah dirimu dari loba tamak, niscaya penyakitmu akan sembuh dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

- Ibrahim bin Adham melihat seorang pemuda sedang bersedih, lalu dia berkata kepadanya, “Wahai anak muda! Saya akan menanyakan kepadamu tiga hal. Tolong dijawab!” “Baiklah,” ujar pemuda tersebut. Ibrahim bertanya kepadanya, “Apakah ada sesuatu di muka bumi ini yang dapat berjalan tanpa kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Dia menjawab, “Tidak sama sekali.” Ibrahim berkata, “Apakah rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu dapat berkurang sedikit pun?” Dia menjawab, “Tidak akan sama sekali.” Ibrahim bertanya lagi, “Apakah ajal yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu dapat berkurang meskipun hanya sekejap saja?” Dia menjawab, “Tidak akan sama sekali.” Lantas Ibrahim berkata, “Kalau demikian, apa yang kamu susahkan?”

- Mu’awiyah berkata kepada seorang lelaki dari daerah Yaman, “Alangkah bodohnya kaummu yang mengangkat seorang perempuan sebagai pemimpin mereka.” Lelaki tersebut membalas perkataan Mu’awiyah, “Kaummu yang lebih bodoh daripada kaumku, yaitu orang-orang yang ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Pengasih, mereka berkata,
Ya Allah, jika (Alquran) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami adzab yang pedih.” (QS. Al-Anfal: 32)
Mereka tidak mengucapkan, “Ya Allah, jika (Alquran) ini benar (wahyu) dari Engkau, berilah kami petunjuk.”

- Seorang ulama diberi pertanyaan pada saat berdiri di atas mimbar, tetapi beliau menjawab, “Saya tidak tahu.” Lantas ada yang berkata kepadanya, “Mimbar bukanlah tempat kebodohan.” Si ulama menjawab, “Saya naik ke mimbar ini sesuai dengan batas ilmuku. Seandainya saya naik sesuai dengan ukuran kebodohanku, pastilah saya sampai ke langit.”

- Seorang laki-laki datang menghadap al-Hasan al-Bashri radhiyallahu ‘anhu. Ia bertanya, “Apa rahasia sifat zuhudmu terhadap dunia wahai sang imam?” Beliau menjawab, “Ada empat hal. Saya tahu bahwa rezeki saya tidak akan diraih oleh orang lain. Makanya, saya menyibukkan diriku sendiri untuk rezekiku. Saya tahu bahwa amal perbuatanku tidak akan dilakukan oleh orang lain. Makanya, saya menyibukkan diriku sendiri untuk melakukannya. Saya tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu melihatku. Makanya, saya malu bila Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatku sedang berbuat maksiat. Saya tahu bahwa kematian menantiku. Makanya, saya mempersiapkan bekal untuk menghadap Rabbku.”

Sumber Artikel: www.KisahMuslim.com

>>Baca Selengkapnya:....

Umar bin Abdul Aziz Peristiwa-peristiwa Menakjubkan Dalam Hidupnya

Lembaran hidup khalifah yang ahli ibadah, zuhud, dan khalifah rasyidin yang kelima ini lebih harum dari aroma misk dan lebih asri dari taman bunga yang indah. Kisah hidup yang mengagumkan laksana taman yang harum semerbak, di manapun Anda singgah di dalamnya yang ada hanyalah suasana yang sejuk di hati, bunga-bunga yang elok dipandang mata dan buah-buahan yang lezat rasanya.

Meski kami tak sanggup memaparkan seluruh perjalanan hidup beliau yang tercatat dalam sejarah, namun tidak menghalangi kami untuk memetik setangkai bunga di dalam tamannya, atau mengambil sebagian cahayanya sebagai lentera. Karena “ma laa yudraku kullahu laa yutraku ba’dhuhu”, apa yang tidak bisa diambil seluruhnya janganlah ditinggalkan sebagian yang dapat diambil.
Kisah mengesankan yang pertama diriwayatkan oleh Salamah bin Dinar, seorang alim di Madinah, qadhi, dan syaikh penduduk Madinah. Beliau menuturkan kisahnya:
“Suatu ketika, aku menemui khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz tatkala beliau berada di Khunashirah, tempat pemerahan susu. Sudah lama saya tidak berjumpa dengan beliau. Saya mendapatkan beliau berada di depan pintu. Pertama kali memandang, saya sudah tidak mengenali beliau lagi lantaran banyaknya perubahan fisik pada diri beliau dibandingkan dengan tatkala bertemu dengan saya di Madinah. Saat di mana beliau menjadi gubernur di sana. Beliau menyambut kedatanganku dan berkata:
Umar: “Mendekatlah kepadaku wahai Abu Hazim!”
Aku: (Akupun mendekat), Bukankah Anda amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz?”
Umar: “Benar!”
Aku: “Apa yang menyebabkan Anda berubah?! Bukankah wajah Anda dahulu tampan? Kulit Anda halus? Hidup serba kecukupan?”
Umar: “Begitulah, aku memang telah berubah.”
Aku: “Lantas apa yang menyebabkan Anda berubah, padahal Anda telah menguasai emas dan perak dan Anda telah diangkat menjadi amirul mukminin?”
Umar: “Memangnya apa yang berubah pada diriku wahai Abu Hazim?”
Aku: “Tubuh begitu kurus dan kering, kulit Anda yang menjadi kasar dan wajahmu yang menjadi pucat, bening kedua matamu yang telah redup..”
Tiba-tiba saja beliau menangis dan berkata,
Umar: “Bagaimana halnya jika engkau melihatku setelah tiga hari aku di dalam kubur, mungkin kedua mataku telah melorot di pipiku.. perutku telah terburai isinya… ulat-ulat tanah menggerogoti sekujur badanku dengan lahapnya. Sungguh jika engkau melihatku ketika itu wahai Abu Hazim, tentulah lebih tak mengenaliku lagi dari hari ini. Ingatkah Anda tentang suatu hadis yang pernah Anda bacakan kepadaku sewaktu di Madinah wahai Abu Hazim?”
Aku: “Saya telah menyampaikan banyak hadis wahai amirul mukminin, lantas hadis manakah yang Anda maksud?”
Umar: “Yakni hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.”
Aku: “Benar, aku masih mengingatnya wahai amirul mukminin.”
Umar: “Ulangilah hadis itu untukku, karena saya ingin mendengarnya dari Anda!”
Aku: “Saya telah mendengar Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya di hadapan kalian terhampar rintangan yang terjal, sangat berbahaya, tidak ada yang mampu melewatinya dengan selamat melainkan orang yang kuat.”
Lalu menangislah Umar dengan tangisan yang mengharukan, saya khawatir jika tangisan tersebut memecahkan hatinya. Kemudian beliau air matanya dan menoleh kepadaku seraya berkata, “Apakah Anda sudi menegurku wahai Abu Hazim bila aku berleha-leha dalam mendaki rintangan yang terjal tersebut sehingga aku berhasil menempuhnya? Karena aku khawatir jika aku tidak berhasil.

Kisah kedua dalam kehidupan Umar, ath-Thabari telah mengisahkan kepada kita dari Thufail bin Mirdaas, beliau bercerita:
“Tatkala amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah beliau menulis surat untuk Sulaiman bin Abi as-Sari, gubernur beliau di Shugdi yang isinya, ‘Buatlah pondok-pondok di negerimu untuk menjamu kaum muslimin. Jika salah seorang di antara mereka lewat, maka jamulah ia sehari semalam, perbaguslah keadaannya dan rawatlah kendaraannya. Jika dia mengeluhkan kesusahan, maka perintahkan pegawaimu untuk menjamunya selama dua hari dan bantulah ia keluar dari kesusahannya. Jika ia tersesat jalan, tidak ada penolok baginya dan tidak ada kendaraan yang bisa dia tunggani, maka berikanlah kepadanya sesuatu yang menjadi kebutuhannya hingga ia bisa pulang ke tempat asalnya.”
Gubernur Sulaiman segera melaksanakan titah amirul mukminin. Dia membangun pondok-pondok sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin untuk disediakan bagi kaum muslimin. Lalu berita tersebut tersebar di segala penjuru. Orang-orang dari belahan bumi Islam di Barat dan di Timur ramai membicarakannya dan menyebut-nyebut keadilan dan ketakwaan khalifah.

Hingga sampai pula berita itu kepada penduduk Samarkand. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Mereka mendatangi gubernur Sulaiman bin as-Sari dan berkata, “Sesungguhnya pendahulu Anda yang bernama Qutaibah bin Muslim al-Bahili telah merampas negeri kami tanpa mendakwahi kami terlebih dahulu. Dia tidak sebagaimana yang kalian lakukan –wahai kaum muslimin- yakni menawarkan pilihan sebelum memerangi. Yang kami tahu, kalian menyeru musuh-musuh agar mau masuk Islam terlebih dahulu. Jika mereka menolak, kalian menyuruh mereka untuk membayar jizyah, jika mereka menolaknya barulah kalian memberikan ultimatum perang.
Sekarang, kami melihat keadilan khalifah Anda dan ketakwaannya. Sehingga kami berhasrat untuk mengadukan perlakuan pasukan kalian kepada kami. Dan kami meminta tolong kepada kalian atas apa yang telah dilakukan salah seorang panglima perang kalian terhadap kami. Maka izinkanlah wahai amir agar salah satu dari kami melaporkan hal itu kepada khalifah Anda dan untuk mengadukan kezhaliman yang telah kami rasakan. Jika kami memang memiliki hak untuk itu, maka berikanlah untuk kami, namun jika tidak, kami akan pulang kembali ke asal kami.”

Gubernur Sulaiman mengizinkan salah seorang dari mereka menjadi duta untuk menemui khalifah di negeri Damaskus. Ketika utusan tersebut sampai di rumah khalifah dan mengadukan persoalan mereka kepada khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz, maka khalifah menulis surat untuk gubernurnya Sulaiman bin as-Sari yang antara lain berisi:
Amma ba’du.. jika surat saya ini telah sampai kepada Anda, maka tunjuklah seorang qadhi (hakim) untuk penduduk Samarkand yang akan mempelajari aduan mereka. Jika qadhi itu telah memutuskan bahwa kebenaran di pihak mereka, maka perintahkan kepada seluruh pasukan kaum muslimin untuk meninggalkan kota mereka. Ajaklah kaum muslimin yang telah tinggal bersama mereka untuk segera kembali ke negeri mereka. Lalu pulihkan situasi seperti semula sebagaimana tatkala kita belum memasukinya. Yakni sebelum Qutaibah bin Muslim al-Bahili masih ke negeri mereka.”
Sampailah utusan itu kepada Sulaiman lalu dia serahkan surat dari amirul mukminin kepada beliau. Gubernur segera menunjuk seorang qadhi yang terkemuka bernama “Jumai’ bin Hadhir An-Naaji.” Beliau segera mempelajari aduan mereka, beliau meminta agar mereka menceritakan hal ihwal mereka. Juga mendengar kesaksian dari beberapa saksi dari pasukan muslim dan pemuka penduduk Samarkand, maka sang qadhi membenarkan tuduhan penduduk Samarkand dan pengadilan memenangkan pihak mereka.
Sejurus kemudian, gubernur memerintahkan kepada seluruh pasukan kaum muslimin untuk meninggalkan kota Samarkand dan kembali ke markas-markas mereka. Namun tetap bersiap siaga berjihad pada kesempatan yang lain. Mungkin akan kembali memasuki negeri mereka dengan damai, atau akan mengalahkan mereka dengan peperangan, atau bisa jadi pula bukan takdirnya untuk menaklukkan mereka.

Tatkala para pembesar Samarkand mendengar keputusan sang qadhi yang memenangkan urusan mereka, masing-masing saling berbisik satu sama lain: “Celaka, kalian telah hidup berdampingan dengan kaum muslimin dan tinggal bersama mereka sebagaimana yang kalian lihat, mintalah agar mereka tetap tinggal bersama kita, bergaullah kepada mereka dengan baik, dan berbahagialah kalian tinggal bersama mereka…”
Tinggallah peristiwa ketiga yang dialami oleh Umar bin Abdul Aziz. Kisah ini dituturkan oleh Ibnu Abdil Hakam kepada kita di dalam kitabnya yang berharga “Siirah Umar bin Abdul Aziz” (perjalanan hidup Umar bin Abdul Aziz). Beliau berkata:
“Menjelang wafatnya Umar, masuklah Maslamah bin Abdul Malik dan berkata, ‘Wahai amirul mukminin sesungguhnya Anda melarang anak-anak Anda mendapatkan harta yang ada ini. Maka alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda untuk anak-anak Anda.” Ketika dia telah selesai berbicara, Umar berkata, “Tolong dudukkanlah saya!” Maka mereka pun mendudukkan beliau, lalu beliau berkata: “Sungguh aku mendengar apa yang Anda katakan wahai Maslamah, adapun perkataanmu bahwa saya menghalangi anak-anak untuk mendapat bagian harta, maka sebenarnya demi Allah aku tidak menghalangi sesuatu yang memang menjadi hak mereka. Namun saya tidak berani memberikan harta yang memang bukan hak mereka. Adapun yang kau katakan, “Alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda untuk (menanggung) anak-anak Anda,” maka sesungguhnya wasiatku untuk anak-anakku hanyalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab dengan benar, Dia-lah yang melindungi orang-orang shalih. Ketahuilah wahai Maslamah! Bahwa anak-anakku hanyalah satu di antara dua kemungkinan, apakah dia seorang yang shalih dan bertkwa sehingga Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya dan Dia menjadikan jalan keluar bagi kesulitan mereka. Ataukah dia anak durhaka yang berkubang dengan maksiat, sedangkan sekali-kali saya tidak mau menjadi orang yang membantu mereka dengan harta untuk bermaksiat kepada Allah.” Setelah itu beliau berkata, “Panggillah anak-anakku kemari!”
Maka dipanggillah anak-anak amirul mukminin yang berjumlah belasan anak. Begitu melihat mereka, meneteslah air mata beliau seraya berkata, “Aku tinggalkan mereka dalam keadaan miskin tak memiliki apa-apa.” Beliau menangis tanpa bersuara kemudian menoleh ke arah mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku, aku telah meninggalkan kepada kalian kebaikan yang banyak. Sesungguhnya ketika kalian melewati seorang muslim atau ahli dzimmah mereka melihat bahwa kalian memiliki hak atas mereka. Wahai anak-anakku, sesungguhnya di hadapan kalian terpampang dua pilihan. Apakah kalian hidup berkecukupan namun ayahmu masuk neraka, ataukah kalian dalam keadaan fakir namun ayahmu masuk surga. Saya percaya bahwa kalian lebih memilih jika ayah kalian selamat dari neraka daripada kalian hidup kaya raya.”
Beliau memperhatikan mereka dengan pandangan kasih sayang seraya berkata, “Berdirilah kalian, semoga Allah menjaga kalian, berdirilah kalian, semoga Allah melimpahkan rezeki kepada kalian..” lalu Maslamah menoleh kepada beliau dan berkata,
Maslamah: “Saya memiliki sesuatu yang lebih baik dari itu wahai amirul mukminin!”
Umar: “Apakah itu wahai Maslamah?”
Maslamah: “Saya memiliki 300.000 dinar… saya ingin menghadiahkan kepada Anda lalu bagilah utnuk mereka, atau sedekahkanlah jika Anda menghendaki.”
Umar: “Apakah engkau ingin yang lebih baik lagi dari usulmu itu wahai Maslamah?”
Maslamah: “Apakah itu wahai Amirul mukminin?”
Umar: “Engkau kembalikan dari siapa barang tersebut diambil, karena kamu tidak memiliki hak atas barang tersebut.”
Maka meneteslah air mata Maslamah seraya berkata,
Maslamah: “Semoga Allah merahmati Anda wahai Amirul Mukminin tatkala hidup ataupun sesudah meninggal… sungguh Anda melunakkan hati yang keras di antara kami, mengingatkan yang lupa di antara kami, Anda akan senantiasa menjadi peringatan bagi kami.”
Sejak peristiwa itu, orang-orang mengikuti berita tentang anak-anak Umar sepeninggal beliau. Maka mereka melihat tak seorang pun di antara mereka yang hidup miskin dan meminta-minta. Sungguh benar firman Allah Ta’ala:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa: 9)
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
>>Baca Selengkapnya:....