Friday 7 August 2015

TEROBOSAN PENDIDIKAN YANG TEPAT UNTUK MAS ANIS

Saya Gunanto, saya telah mengabdikan diri selama 15 tahun di jenjang SMP sebagai guru matematika. Beberapa kurikulum telah saya terapkan di level sekolah, mulai dari kurikulum 94, kurikulum 94 dengan suplemennya, uji coba KBK (kurikulum berbasis kompetensi), kurikulum 2006, dan satu semester menerapkan kurikulum 2013. Sebagai guru, saya harus jujur mengakui bahwa perubahan-perubahan kurikulum telah menambah khasanah pengetahuan dan keterampilan saya sebagai guru. Mengapa demikian?  Karena setiap pergantian kurikulum, selalu dibarengi dengan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan atau lembaga pemerintah lainnya.

Perubahan kurikulum selalu saya tanggapi secara positif, apalagi sejak dibangunnya fondasi besar pendidikan Indonesia dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 berupa 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) yaitu standar kompetensi lulusan (SKL), standar isi, standar proses, standar penilaian, standar pengelolaan, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, dan standar pendidik dan tenaga kependidikan. Perubahan kurikulum mulai tahun 2003 telah terarah dengan baik yaitu bahwa perubahan KBK, KTSP, dan K-13 selalu dalam koridor 8 SNP tersebut. Ini sangat bagus, artinya pemerintah konsisten dengan landasan berpikirnya.

Jika kerangka perubahan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah sudah berada pada jalur yang benar, mengapa pendidikan di Indonesia masih belum beranjak dari tempatnya? Dengan kata lain mengapa kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan?

Ada beberapa faktor penyebab untuk menjawab masalah ini, di antaranya:
1. Kualitas Pendidik
Kompetensi guru mencakup 4 bidang yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial, ke-4-nya wajib dimiliki oleh setiap guru dengan kriteria mesti lebih dari cukup, maka secara kasat mata kompetensi pedagogik dan profesional masih memprihatinkan, Ini tentu tak lepas dari kebijakan pemerintah tahun 1970 - 1980 yang mengangkat guru dengan standar rendah, bahkan sampai tahun 2014 ini, masih ada pengangkatan guru dengan kualifikasi di bawah S-1. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada kualitas kompetensi guru.
Solusi untuk masalah ini tidak cukup hanya dengan diklat peningkatan kompetensi guru, tetapi mesti lebih dari itu. Sudah waktunya guru-guru yang tidak cukup kompetensi pedagogik dan profesionalnya untuk dipensiunkan lebih awal, diganti dengan guru-guru muda yang wajib sanggup lebih berkualitas. Guru baru harus melalui seleksi yang ketat terhadap 2 kompetensi ini.

Masalah lainnya adalah kompetensi kepribadian dan sosial,  yang saya lihat secara menonjol masalahnya adalah masih banyak guru yang melaksanakan tugas ala kadarnya, datang ke sekolah dan bertugas kurang dari 37,5 jam per minggu, sering terlambat datang ke sekolah atau kelas. 
Solusi untuk masalah ini adalah pembuatan dan pemberlakuan aplikasi pemantauan kinerja guru secara online yang terintegrasi dengan aplikasi dapodik.

2. Kebijakan Pemerintah (Daerah dan Pusat)
Harus diakui bahwa kebijakan pemerintah terkadang baru sebatas proyek, bukan ketulusan untuk memajukan pendidikan. Bahkan terkadang sebagian pejabat pemerintah tak malu untuk mengambil keuntungan pribadi atau kelompok di bidang pendidikan dengan mengorbankan pendidikan itu sendiri. Penunjukan kepala sekolah, mutasi guru, urusan administrasi guru, lomba antar siswa/sekolah, pengawasan dan inspeksi sekolah... di beberapa daerah konon tak luput dari masalah suap, fee, dan sejenisnya. 
Solusi untuk masalah ini adalah, mesti dibentuk Komisi Pendidikan Indonesia (KPI) yang berfungsi semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani korupsi. KPI akan menangani pencegahan dan pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam dunia pendidikan dari level pusat hingga sekolah beserta stake holder-nya (gubernur/bupati, BPK, Inspektorat, POLRI, dan LSM).

3. Kondisi Masyarakat
Masyarakat umumnya memiliki beragam pandangan terhadap pendidikan. Hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, ekonomi, akses informasi dan komunikasi, sosial, dan budaya. Orang tua dengan latar belakang pendidikan tinggi (minimum S-1) dengan kondisi ekonomi mapan akan memiliki komitmen yang lebih baik terhadap pendidikan anak-anaknya. Orang tua dengan kondisi ekonomi mapan cenderung memiliki keinginan agar anak-anak mereka bersekolah hingga minimum S-1.

4. Kerangka Dasar Kurikulum
..(belum selesai)

No comments :

Post a Comment

Mohon komentar yang konstruktif dan positif, terima kasih.