[1]
عَنْ
حُصَيْن بْنِ عَبْدِ الرَّ حْـمَنٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ
فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا
ثُـمَّ قُلتُ أَمَا إِنِّـي لَـمْ أَكُنْ فِـي صَلاَةٍ وَلَكِنِّـي لُدِغْتُ قَالَ
فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ اسْـتَرْقَيْـتُ قَالَ فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ
قُلْتُ حَدِيثٌ حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِـيُّ فَقَالَ وَمَا حَدَّثَكُمُ
الشَّعْبِـيُّ قُلْتُ حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ اْلأَسْلَمِـيِّ
أَنَّهُ قَالَ لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْـنٍ أَوْ حُـمَةٍ فَقَالَ قَدْ
أَحْسَـنَ مَنِ انْتَهَى إِلَـى مَا سَـمِـعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ
عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَـيَّ
اْلأُمَـمُ فَرَأَيْتُ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ الرَّهَيْطُ وَ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ
الرَّجُلُ وَ الرَّجُلاَنِ وَ النَّبِـيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِـي
سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِـي فَقِيلَ لِـي هَذَا مُوسَـى
عَلَيْهِ السَّلاَمَ وَ قَوْمُهُ وَ لَكِنِ انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ فَنَظَرْتُ
فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ اْلآخَرِ فإِذَا
سَـوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَ مَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا
يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ ثُـمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ
مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِـي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ
بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ
صَحِبُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ
فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ وُلِدُوا فِـي اْلإِسْلاَمِ وَ لَـمْ يُشْرِكُوا بِاللهِ
وَ ذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَـخَرَخَ عَلَيْهِمْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَـخُوضُونَ فِـيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمُ
الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ وَ عَلَى
رَبِّـهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِـحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللهَ
أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُـمَّ قَامَ رَجُلٌ آجَرُ
فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِـهَا
عُكَّاشَةُ
Dari Hushain bin Abdurrahman berkata:
"Ketika saya berada di dekat Sa'id bin Jubair, dia
berkata: "Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh
semalam?"
Saya menjawab:
"Saya.”
Kemudian saya berkata:
"Adapun saya ketika itu tidak dalam keadaan sholat,
tetapi terkena sengatan kalajengking."
Lalu ia bertanya:
"Lalu apa yang anda kerjakan?"
Saya menjawab:
"Saya minta diruqyah"
Ia bertanya lagi:
"Apa yang mendorong anda melakukan hal tersebut?"
Jawabku:
"Sebuah hadits yang dituturkan Asy-Sya'bi kepada
kami."
Ia bertanya lagi:
"Apakah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya'bi kepada
anda?"
Saya katakan:
"Dia menuturkan hadits dari Buraidah bin Hushaib:
'Tidak ada ruqyah kecuali karena 'ain atau terkena
sengatan.'."
Sa'id pun berkata:
"Alangkah baiknya orang yang beramal sesuai dengan nash
yang telah didengarnya, akan tetapi Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu menuturkan
kepada kami hadits dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:
'Saya telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allâh, lalu
saya melihat seorang Nabi bersama beberapa orang, seorang Nabi bersama seorang
dan dua orang dan seorang Nabi sendiri, tidak seorangpun menyertainya.
Tiba-tiba ditampakkan kepada saya sekelompok orang yang sangat banyak. Lalu
saya mengira mereka itu umatku, tetapi disampaikan kepada saya:
"Itu adalah Musa dan kaumnya".
Lalu tiba-tiba saya melihat lagi sejumlah besar orang, dan
disampaikan kepada saya:
"Ini adalah umatmu, bersama mereka ada tujuh puluh ribu
orang, mereka akan masuk surga tanpa hisab dan adzab.".'
Kemudian Beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun
saling berbicara satu dengan yang lainnya,
'Siapakah gerangan mereka itu?'
Ada diantara mereka yang mengatakan:
'Mungkin saja mereka itu sahabat Rasulullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam.'
Ada lagi yang mengatakan:
'Mungkin saja mereka orang-orang yang dilahirkan dalam
lingkungan Islam dan tidak pernah berbuat syirik terhadap Allâh.'
dan menyebutkan yang lainnya.
Ketika Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam keluar,
mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda:
'Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah,
tidak meminta di kay dan tidak pernah melakukan tathayyur serta mereka
bertawakkal kepada Rabb mereka.'
Lalu Ukasyah bin Mihshon berdiri dan berkata:
'Mohonkanlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk
golongan mereka!'
Beliau menjawab:
'Engkau termasuk mereka'
Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata:
'Mohonlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan
mereka!'
Beliau menjawab:
'Kamu sudah didahului Ukasyah.'."
TAKHRIJ HADIST
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
BIOGRAFI SINGKAT RAWI DAN SAHABAT YANG TERDAPAT DALAM HADITS
1.
Hushain bin Abdurrahman, beliau
adalah As-Sulami Abu Hudzail Al-Kûfi, seorang yang tsiqah. Wafat pada tahun 136
H pada usia 93 tahun.
2.
Sa'id bin Jubair, beliau adalah
seorang imam yang faqih termasuk murid senior Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu.
Periwayatannya dari Aisyah radhiyallâhu'anha dan Abu Musa adalah mursal,
beliau seorang pemimpin Bani As'ad yang dibunuh oleh Al-Hajâj bin Yusuf ats-Tsaqafiy
tahun 95 H dalam usia 50 tahun.
3.
Asy-Sya'bi, beliau bernama Amir bin
Surahil al-Hamadani, dilahirkan pada masa kekhalifahan Umar radhiyallâhu'anhu
dan termasuk tabi'in terkenal dan ahli fiqih mereka, wafat tahun 103 H.
4.
Buraaidah bin al-Hushaib, beliau
adalah Ibnul Harits al-Aslamy, shahabat masyhur, wafat tahun 63 menurut
pendapat Ibnu Sa'ad.
5.
Ukasyah bin Mihshon radhiyallâhu'anhu,
beliau berasal dari Bani As'ad bin Khuzaimah dan termasuk pendahulu dalam
Islam. Beliau hijrah dan menyaksikan perang Badar dan perang-perang lainnya.
Beliau mati syahid dalam perang Riddah dibunuh Thulaihah al-Asady tahun 12 H.
Kemudian Thulaihah masuk Islam setelah itu, ikut berjihad melawan Persi pada
hari Al-Qadisiyah bersama Sa'ad bin Abu Waqash dan mati syahid di Waqi'atûl
Jasri'al-Mashurah.
KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini menjelaskan beberapa hal, diantaranya :
·
Pentingnya beramal dengan dalil,
·
Penjelasan tidak semua Nabi punya
pengikut, dan
·
Penjelasan mengenai golongan yang
masuk surga tanpa hisab dan adzab.
KETERANGAN HADITS
1.
Beramal dengan dalil.
Hushain bin Abdurrahman terkena sengatan kalajengking, lalu
meminta ruqyah dalam pengobatannya. Beliau lakukan hal itu bukan tanpa dalil.
Beliau berdalil dengan hadits dari Buraidah bin al-Husaib "Tidak ada
ruqyah kecuali karena ain atau sengatan kalajengking".
2.
Jumlah pengikut Nabi.
Sa'id mendengar hadits dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu,
berisi keterangan diperlihatkan kepada Nabi beberapa umat. Beliau melihat
seorang nabi beserta pengikutnya yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh.
Seorang nabi beserta satu atau dua orang pengikutnya, dan seorang nabi yang
tidak memiliki pengikut. Kemudian diperlihatkan kepada beliau sekelompok
manusia yang banyak dan ternyata adalah umat Nabi Musa 'alaihissalam. Kemudian
baru diperlihatkan umat Beliau sebanyak 70 ribu orang yang masuk surga tanpa
hisab dan adzab.
Hal ini menunjukkan kebenaran itu tidak dilihat dari banyaknya pengikut.
Hal ini menunjukkan kebenaran itu tidak dilihat dari banyaknya pengikut.
3.
Golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.
Mereka adalah umat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
yang merealisasikan tauhid. Sebagaimana dalam riwayat Ibnu Fudhail:
"Dan
akan masuk surga diantara mereka 70 ribu orang."
Demikian juga dalam hadits Abu Hurairah dalam shahihain:
Demikian juga dalam hadits Abu Hurairah dalam shahihain:
"Wajah-wajah
mereka bersinar seperti sinar bulan pada malam purnama".
Dalam hal yang sama Imam Ahmad rahimahullâh dan Baihaqi rahimahullâh meriwayatkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu dengan lafadz:
Dalam hal yang sama Imam Ahmad rahimahullâh dan Baihaqi rahimahullâh meriwayatkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu dengan lafadz:
"Maka saya minta tambah (kepada Rabbku), kemudian Allâh
memberi saya tambahan setiap seribu orang itu membawa 70 ribu orang lagi".
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits ini: "Sanadnya jayyid (bagus)".
Mereka itu adalah orang-orang yang:
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits ini: "Sanadnya jayyid (bagus)".
Mereka itu adalah orang-orang yang:
A. Tidak minta diruqyah.
Demikianlah
yang ada dalam shahihain. Juga pada hadits Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu
dalam musnad Imam Ahmad rahimahullâh. Sedangkan dalam riwayat Imam
Muslim (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) artinya yang tidak meruqyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Ini
merupakan lafadz tambahan dari prasangka rawi dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam tidak bersabda (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) karena Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah ditanya
tentang ruqyah, lalu beliau menjawab:
“Barangsiapa
diantara kalian mampu memberi manfaat kepada saudaranya, maka berilah padanya
manfaat"
dan bersabda:
dan bersabda:
"Boleh
menggunakan ruqyah selama tidak terjadi kesyirikan padanya."
Ditambah lagi dengan amalan Jibril 'alaihissalam yang meruqyah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meruqyah shahabat-shahabatnya. Beliaupun menjelaskan perbedaan antara orang yang meruqyah dengan orang yang meminta diruqyah:
Ditambah lagi dengan amalan Jibril 'alaihissalam yang meruqyah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meruqyah shahabat-shahabatnya. Beliaupun menjelaskan perbedaan antara orang yang meruqyah dengan orang yang meminta diruqyah:
"Mustarqi (orang yang meminta diruqyah) adalah
orang yang minta diobati, dan hatinya sedikit berpaling kepada selain Allâh.
Hal ini akan mengurangi nilai tawakkalnya kepada Allâh. Sedangkan arrâqi
(orang yang meruqyah) adalah orang yang berbuat baik."
Beliau berkata pula:
Beliau berkata pula:
"Dan yang dimaksud sifat golongan yang termasuk 70 ribu
itu adalah tidak meruqyah karena kesempurnaan tawakkal mereka kepada Allâh dan
tidak meminta kepada selain mereka untuk meruqyahnya serta tidak pula minta di
kay." Demikian pula hal ini disampaikan Ibnul Qayyim.
B. Tidak Minta di kay (وَلاَ يَكْتَوُوْنَ)
Mereka
tidak minta kepada orang lain untuk mengkay sebagaimana mereka tidak minta
diruqyah. Mereka menerima qadha' dan menikmati musibah yang menimpa mereka.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata:
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata:
"Sabda
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (لاَ
يَكْتَوُوْنَ) lebih umum dari pada sekedar minta
di kay atau melakukannya dengan kemauan mereka.
Sedangkan hukum kay sendiri dalam Islam tidak dilarang, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah:
Bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka'ab, lalu dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.
Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas radhiyallâhu'anhu :
Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah dalam sedangkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup.”
Dan dalam riwayat dari Tirmidzi dan yang lainnya dari Anas:
Sedangkan hukum kay sendiri dalam Islam tidak dilarang, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah:
Bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka'ab, lalu dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.
Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas radhiyallâhu'anhu :
Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah dalam sedangkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup.”
Dan dalam riwayat dari Tirmidzi dan yang lainnya dari Anas:
Sesungguhnya
Nabi mengkay As'ad bin Zurarah karena sengatan kalajengking Juga dalam shahih
Bukhari dari Ibnu Abbas secara marfu': “Pengobatan itu dengan tiga cara yaitu
dengan berbekam, minum madu dan kay dengan api dan saya melarang umatku dari
kay. (Dalam riwayat yang lain: "Dan saya tidak menyukai kay").
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, "Hadits-hadits tentang kay itu mengandung 4
hal yaitu:
1.
Perbuatan Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam. Hal itu menunjukkan bolehnya melakukan kay.
2.
Rasulullah tidak menyukainya. Hal
itu tidak menunjukkan larangan.
3.
Pujian bagi orang yang meninggalkan.
Menunjukkan meninggalkan kay itu lebih utama dan lebih baik.
4.
Larangan melakukan kay. Hal itu
menunjukkan jalan pilihan dan makruhnya kay.
C. Tidak Melakukan Tathayyur
Mereka
tidak merasa pesimis, tidak merasa bernasib sial atau buruk karena melihat
burung atau binatang yang lainnya.
4. Mereka Bertawakal Kepada Allâh
Disebutkan dalam hadits ini, perbuatan dan kebiasaan itu bercabang dari rasa tawakkal dan berlindung serta bersandar hanya kepada Allâh.
Hal tersebut merupakan puncak realisasi tauhid yang
membuahkan kedudukan yang mulia berupa mahabbah (rasa cinta), raja'
(pengharapan), khauf (takut) dan ridha kepada Allâh sebagai Rabb dan Ilah serta
ridha dengan qadha'-Nya.
Ketahuilah makna hadits di atas tidak menunjukkan bahwa
mereka tidak mencari sebab sama sekali. Karena mencari sebab (supaya sakitnya
sembuh) termasuk fitrah dan sesuatu yang tidak terpisah darinya.
Allâh Ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allâh, maka Allâh akan cukupi segala kebutuhannya."
(Ath-thalaq: 3)
Mereka meninggalkan perkara-perkara (ikhtiyar) makruh
walaupun mereka sangat butuh dengan cara bertawakkal kepada Allâh. Seperti kay
dan ruqyah, mereka meninggalkan hal itu karena termasuk sebab yang makruh.
Apalagi perkara yang haram.
Adapun mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cara yang tidak dimakruhkan, maka tidak membuat cacat dalam tawakkal.
Adapun mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cara yang tidak dimakruhkan, maka tidak membuat cacat dalam tawakkal.
Dengan demikian kita tidaklah meninggalkan sebab-sebab yang
disyari'atkan, sebagaimana dijelaskan dalam shahihain dari Abu Hurairah
radhiAllâhu’anhu secara marfu'.
”Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan obat untuknya, mengetahui obat itu orang yang mengetahuinya dan tidak tahu obat itu bagi orang yang tidak mengetahuinya.”
”Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan obat untuknya, mengetahui obat itu orang yang mengetahuinya dan tidak tahu obat itu bagi orang yang tidak mengetahuinya.”
Dari Usamah bin Syarik dia berkata: Suatu ketika saya di sisi Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam , datanglah orang Badui dan mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami saling mengobati?"
Beliau menjawab: "Ya, wahai hamba-hamba Allâh saling
mengobatilah, sesungguhnya Ta'ala tidaklah menimpakan sesuatu kecuali Dia telah
meletakkan obat baginya, kecuali satu penyakit saja, yaitu pikun.” (HR. Ahmad).
Berkata Ibnu Qoyyim rahimahullah: Hadits-hadits ini
mengandung penetapan sebab dan akibat, dan sebagai pembatal perkataan orang
yang mengingkarinya.
Perintah untuk saling mengobati tidak bertentangan dengan
tawakkal. Sebagaimana menolak lapar dan haus, panas dan dingin dengan
lawan-lawannya (misalnya lapar dengan makan). Itu semua tidak menentang
tawakkal. Bahkan tidaklah sempurna hakikat tauhid kecuali dengan mencari sebab
yang telah Allâh Ta'ala jadikan sebab dengan qadar dan syar'i. Orang yang
menolak sebab itu malah membuat cacat tawakkalnya.
Hakikat tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allâh Ta’ala kepada perkara yang bermanfaat bagi hamba untuk diri dan dunianya. Maka bersandarnya hati itu harus diimbangi dengan mencari sebab. Kalau tidak berarti ia menolak hikmah dan syari'at. Maka seseorang hamba tidak boleh menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan tidaklah tawakkal sebagai kelemahan.
Hakikat tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allâh Ta’ala kepada perkara yang bermanfaat bagi hamba untuk diri dan dunianya. Maka bersandarnya hati itu harus diimbangi dengan mencari sebab. Kalau tidak berarti ia menolak hikmah dan syari'at. Maka seseorang hamba tidak boleh menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan tidaklah tawakkal sebagai kelemahan.
Para ulama berselisih dalam masalah berobat, apakah termasuk
mubah, lebih baik ditinggalkan atau mustahab atau wajib dilakukan? Yang masyhur
menurut Imam Ahmad adalah pendapat pertama, yaitu mubah dengan dasar hadits ini
dan yang semakna dengannya.
Sedangkan pendapat yang menyatakan lebih utama dilakukan
adalah madzhab Syafi'i dan jumhur salaf dan khalaf serta al-Wazir Abul Midhfar,
Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Sedangkan Madzhab Abu
Hanifah menguatkan sampai mendekati wajib untuk berobat dan Madzhab Imam Malik
menyatakan sama saja antara berobat dan meninggalkannya, sebagaimana
disampaikan oleh Imam Malik: "Boleh berobat dan boleh juga
meninggalkannya."
Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: "Tidaklah wajib menurut jumhur para imam, sedangkan yang
mewajibkan hanyalah sebagian kecil dari murid Imam Syafi'i dan Imam Ahmad.”
5. Kisah 'Ukasyah bin Mihshan 'Ukasyah
'Ukasyah bin Mihshan 'Ukasyah meminta kepada Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam supaya mendo'akannya masuk dalam golongan orang
yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.
Lalu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:
"Engkau termasuk dari mereka." Sebagaimana dalam riwayat Bukhari
beliau berdo'a: "Ya Allâh jadikanlah dia termasuk mereka."
Dari sini diambil sebagai dalil dibolehkan minta do'a kepada orang yang lebih utama. Kemudian temannya yang tidak disebutkan namanya meminta Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mendo'akannya pula, tapi Rasullullah SalAllâhu ‘Alaihi Wassalam menjawab: "Engkau telah didahului 'Ukasyah."
Dari sini diambil sebagai dalil dibolehkan minta do'a kepada orang yang lebih utama. Kemudian temannya yang tidak disebutkan namanya meminta Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mendo'akannya pula, tapi Rasullullah SalAllâhu ‘Alaihi Wassalam menjawab: "Engkau telah didahului 'Ukasyah."
Berkata Al-Qurthubi: "Bagi orang yang kedua keadaanya
tidak seperti 'Ukasyah, oleh karena itu permintaannya tidak dikabulkan, jika
dikabulkan tentu akan membuka pintu orang lain yang hadir untuk minta dido'akan
dan perkara itu akan terus berlanjut. Dengan itu beliau menutup pintu tersebut
dengan jawabannya yang singkat. Berkata Syaikh Abdirrahman bin Hasan Alu
Syaikh: "Didalamnya terdapat penggunaan ungkapan sindiran oleh Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam.”
FAIDAH-FAIDAH HADITS:
1.
Beramal dengan berdasarkan dalil
yang ada.
2.
Umat-umat telah ditampakkan kepada
Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
3.
Setiap umat dikumpulkan
sendiri-sendiri bersama nabinya.
4.
Kebenaran itu tidak dilihat pada
banyaknya pengikut tetapi kualitasnya.
5.
Keistimewaan umat Islam dengan
kualitas dan kuantitasnya.
6.
Diperbolehkan melakukan ruqyah
karena terkena ain dan sengatan.
7.
Di dalam hadits terdapat penjelasan
manhaj salaf. Hal ini dapat dipahami dari perkataan Sa'id bin Jubair:
"Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan hadits yang telah ia
dengar." Dengan demikian jelaslah bahwa hadits yang pertama tidak bertentangan
dengan hadits kedua.
8.
Tidak minta diruqyah (tidak meminta
supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan) dan tidak melakukan
tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang benar.
9.
Sikap tawakkal kepada Allâh lah yang
mendasari sikap tersebut
10.
Dalamnya ilmu para shahabat. Karena
mereka mengetahui orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak dapat
mencapai derajat dan kedudukan yang demikian kecuali dengan amalan.
11.
Gairah dan semangat para sahabat
untuk berlomba-lomba mengerjakan amal kebaikan.
12.
Golongan yang masuk surga tanpa
hisab dan adzab adalah yang tidak minta diruqyah, dikay dan tidak melakukan
tathayyur serta bertawakkal kepada Rabb dengan sempurna.
13.
Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam : "Kamu termasuk golongan mereka," adalah salah satu tanda
kenabian beliau.
14.
Keutamaan 'Ukasyah
15.
Penggunaan kata sindiran: "Kamu
sudah kedahuluan 'Ukasyah." Tidak berkata: "Kamu tidak pantas untuk
dimasukkan ke golongan mereka."
16.
Keelokkan budi pekerti Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Disadur dari: Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid (hal 54-62)
karya Syaikh Abdir Rohman bin Hasan Alu Syaikh.
semoga saya termasuk golongan tersebut ,,,amin,,,
ReplyDeletekunjung balik di blog saya sob,,,,
Alhamdulillah. Saya pun sangat berharap demikian. Amin sob.
ReplyDeletemakasih pak .. artikelnya benar benar mencerahkan .. semoga kita selalu diberikan petunjuk ke jalan yang lurus dan benar ya pak
ReplyDeleteAmin, ya semoga Allah SWT memberi kita petunjuk ke jalan yang lurus dan dapat masuk jannah tanpa adzab, atau bahkan tanpa hisab.
Delete