Oleh :
Dudung Koswara, M.Pd
(dengan sedikit editan oleh Gunanto)
Wakil
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim menyatakan banyak kepala
sekolah yang tidak memiliki kompetensi dalam mengelola sekolah (Kompas.com,
10/8/12). Secara faktual temuan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan (PMPTK) menjelaskan dari 250 ribu kepala sekolah di
Indonesia 70 persen tidak kompeten. Ini sebuah gambaran rendahnya kualitas
kepala sekolah di Indonesia secara makro.
Padahal
dalam Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 jelas dinyatakan
bahwa seorang kepala sekolah harus memiliki kompetensi kepribadian, manajerial,
kewirausahaan, supervisi dan sosial. Bila para kepala sekolah memenuhi tuntutan
dimensi kompetensi di atas, setidaknya ada jaminan keunggulan untuk menjadi
pemimpin di satuan pendidikan.
Ada hal
yang menarik dari Permendiknas no 28 tahun 2010 BAB 1 pasal 1 mendefinisikan
kepala sekolah sebagai guru yang
mendapat tugas tambahan. Definisi ini benar secara teoritik tetapi mengganggu
secara psikologis. Kepala sekolah adalah tugas tambahan dari seorang guru. Ini
menjadi menarik ketika melihat realitas para kepala sekolah di Indonesia
mayoritas tidak kompeten.
Mungkin
saja para kepala sekolah kebanyakan bermasalah secara kompetensi karena secara
psikologis didukung oleh Permendiknas yang mendefinisikan jabatan kepala
sekolah sebagai tugas tambahan. Menurut penulis sebaiknya ada redefinisi
terhadap jabatan kepala sekolah. Alangkah baiknya bila kepala sekolah dapat
didefinisikan dengan guru yang memiliki
tanggungjawab strategis mengembangkan prestasi satuan pendidikan.
Bila
definisi dalam Permendiknas itu diubah seperti di atas diharapkan ada
kontribusi psikologis dan moral untuk menjalankan jabatan kepala sekolah secara
maksimal. Bila mind set jabatan kepala sekolah dianggap sebagai tugas tambahan
bukan tugas utama maka dikwatirkan tidak maksimalnya kinerja para kepala
sekolah. Menganggap jabatan kepala sekolah sebagai “tugas tambahan” bukan tugas
utama menurut penulis cukup beresiko terhadap tangungjawab dan manajerial
lembaga.
Sebaiknya
seorang kepala sekolah memiliki tugas strategis sebagai pengembang prestasi
satuan pendidikan dan tugas tambahannya sebagai guru mata pelajaran. Bukan
sebaliknya menempatkan jabatan kepala sekolah sebagai pekerjaan tambahan bukan
tugas utama. Ada sebuah imbas negatif psikologis dari definisi dan pemahaman
tentang kepala sekolah sebagai tugas tambahan.
Bila
kepala sekolah menganggap jabatannya sebagai tugas utama yang strategis dalam
membangun prestasi satuan pendidikan akan lebih baik. Artinya para kepala
sekolah harus menganggap jabatnnya sebagai tugas utama, melekat dan totalis
mengembangkan prestasi satuan pendidikan. Hindarkan paradigma “tugas Tambahan,”
Bisa jadi lemahnya kompetensi dan signifikansi prestasi para kepala sekolah
dalam mengembangkan satuan pendidikan terpengaruh secara psikologis normatif
dari definisi baku Permendiknas 2010.
Semoga
tidak ada dampak terhadap kinerja dari seorang kepala sekolah yang menganggap
jabatannya sebagai tugas tambahan. Semoga kepala sekolah tidak datang terlambat
di sekolah. Semoga para kepala sekolah tidak meninggalkan tugas utamaya sebagai
guru mata pelajaran. Semoga para kepala sekolah tidak bercitrakan tukang rapat.
Semoga para kepala sekolah tidak identik sebagai loyalis birokrasi. Semoga para
kepala sekolah tidak alergi ICT dan bahasa Inggris. Semoga para kepala sekolah
tidak pulang kantor lebih cepat dari guru-guru yang lainnya. Semoga para kepala
sekolah identik dengan prestasi bukan identik dengan loyalis “tim sukses”
daerah. Semoga jabatan kepala sekolah dedikasinya tidak terlalu “keatas”
melainkan mayoritas pada prestasi satuan pendidikan.
Mari
para guru yang mendapat tugas strategis (bukan tugas tambahan) sebagai kepala
sekolah untuk memahami bahwa tugas seorang kepala sekolah sangatlah berat.
Harus mampu menjadi pendidik (educator), manajer, administrator, supervisor,
leader, innovator, motivator dan entrepreneur (EMASLIM-E). Kemampuan yang harus
dimiliki seorang kepala sekolah sangatlah berat jadi perlu sebuah ikhtiar dan
kompetensi yang jelas dan mumpuni.
Pepatah
bijak menyatakan, tidak ada sekolah yang buruk dengan kepala sekolah yang baik.
Tidak ada sekolah yang baik dengan kepala sekolah yang buruk. Pernyataan ini
menjelaskan tentang urgensitas dan strategisnya peran seorang kepala sekolah
yang menurut Permendiknas sebagai “tugas tambahan.” Menurut penulis seorang
kepala sekolah memiliki tugas berat untuk membangun satuan pendidikan secara
maksimal. Tugas kepala sekolah bukan tugas tambahan apalagi mencari “tambahan”
di satuan pendidikan .
Kepala
sekolah adalah lokomotif dari suksesnya proses pendidikan. Ia harus menjadi
orang pertama dalam berbagai hal di satuan pendidikan yang dipimpinnya. Orang
pertama yang masuk sekolah sebelum guru dan siswanya. Orang pertama yang
mengetahui informasi terbaru. Orang pertama dalam melakukan perubahan/inovasi
pendidikan. Orang pertama dalam memberikan keteladanan. Orang pertama dalam
menerima resiko di satuan pendidikannya.
Kepala
sekolah harus “cepat” dan harus “terlambat.” Cepat (paling dulu) datang ke sekolah sebelum guru-guru lain datang. Harus terlambat (terakhir)
yakni “terakhir meninggalkan sekolah setelah bawahannya (semua warga
civitas akademika) selesai bekerja.” Kedaulatan sekolah, keamanan, kenyamanan
dan kesejahteraan satuan pendidikan bagian dari tanggungjawab leadership dan
manajemen seorang kepala sekolah.
Sebaiknya
kita para pekerja pendidikan mengapresiasi pepatah kritis Prof. Ibrahim Bafadal
yang menyatakan “Tidak ada anak yang tidak bisa dididik, yang ada guru yang
tidak bisa mendidik. Tidak ada guru yang tidak bisa mendidik, yang ada kepala
sekolah yang tidak bisa membuat guru bisa mendidik.” Pepatah kritis
ini menjelaskan bahwa seorang kepala sekolah adalah penentu utama dinamika
satuan pendidikan.
No comments :
Post a Comment
Mohon komentar yang konstruktif dan positif, terima kasih.