Saturday 8 December 2012

Kepala Sekolah Bukan Tugas Tambahan





Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(dengan sedikit editan oleh Gunanto)
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim menyatakan banyak kepala sekolah yang tidak memiliki kompetensi dalam mengelola sekolah (Kompas.com, 10/8/12). Secara faktual temuan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) menjelaskan dari 250 ribu kepala sekolah di Indonesia 70 persen tidak kompeten. Ini sebuah gambaran rendahnya kualitas kepala sekolah di Indonesia secara makro.
Padahal dalam Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 jelas dinyatakan bahwa seorang kepala sekolah harus memiliki kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi dan sosial. Bila para kepala sekolah memenuhi tuntutan dimensi kompetensi di atas, setidaknya ada jaminan keunggulan untuk menjadi pemimpin di satuan pendidikan.
Ada hal yang menarik dari Permendiknas no 28 tahun 2010 BAB 1 pasal 1 mendefinisikan kepala sekolah sebagai guru yang mendapat tugas tambahan. Definisi ini benar secara teoritik tetapi mengganggu secara psikologis. Kepala sekolah adalah tugas tambahan dari seorang guru. Ini menjadi menarik ketika melihat realitas para kepala sekolah di Indonesia mayoritas tidak kompeten.
Mungkin saja para kepala sekolah kebanyakan bermasalah secara kompetensi karena secara psikologis didukung oleh Permendiknas yang mendefinisikan jabatan kepala sekolah sebagai tugas tambahan. Menurut penulis sebaiknya ada redefinisi terhadap jabatan kepala sekolah. Alangkah baiknya bila kepala sekolah dapat didefinisikan dengan guru yang memiliki tanggungjawab strategis mengembangkan prestasi satuan pendidikan.
Bila definisi dalam Permendiknas itu diubah seperti di atas diharapkan ada kontribusi psikologis dan moral untuk menjalankan jabatan kepala sekolah secara maksimal. Bila mind set jabatan kepala sekolah dianggap sebagai tugas tambahan bukan tugas utama maka dikwatirkan tidak maksimalnya kinerja para kepala sekolah. Menganggap jabatan kepala sekolah sebagai “tugas tambahan” bukan tugas utama menurut penulis cukup beresiko terhadap tangungjawab dan manajerial lembaga.
Sebaiknya seorang kepala sekolah memiliki tugas strategis sebagai pengembang prestasi satuan pendidikan dan tugas tambahannya sebagai guru mata pelajaran. Bukan sebaliknya menempatkan jabatan kepala sekolah sebagai pekerjaan tambahan bukan tugas utama. Ada sebuah imbas negatif psikologis dari definisi dan pemahaman tentang kepala sekolah sebagai tugas tambahan.
Bila kepala sekolah menganggap jabatannya sebagai tugas utama yang strategis dalam membangun prestasi satuan pendidikan akan lebih baik. Artinya para kepala sekolah harus menganggap jabatnnya sebagai tugas utama, melekat dan totalis mengembangkan prestasi satuan pendidikan. Hindarkan paradigma “tugas Tambahan,” Bisa jadi lemahnya kompetensi dan signifikansi prestasi para kepala sekolah dalam mengembangkan satuan pendidikan terpengaruh secara psikologis normatif dari definisi baku Permendiknas 2010.
Semoga tidak ada dampak terhadap kinerja dari seorang kepala sekolah yang menganggap jabatannya sebagai tugas tambahan. Semoga kepala sekolah tidak datang terlambat di sekolah. Semoga para kepala sekolah tidak meninggalkan tugas utamaya sebagai guru mata pelajaran. Semoga para kepala sekolah tidak bercitrakan tukang rapat. Semoga para kepala sekolah tidak identik sebagai loyalis birokrasi. Semoga para kepala sekolah tidak alergi ICT dan bahasa Inggris. Semoga para kepala sekolah tidak pulang kantor lebih cepat dari guru-guru yang lainnya. Semoga para kepala sekolah identik dengan prestasi bukan identik dengan loyalis “tim sukses” daerah. Semoga jabatan kepala sekolah dedikasinya tidak terlalu “keatas” melainkan mayoritas pada prestasi satuan pendidikan.
Mari para guru yang mendapat tugas strategis (bukan tugas tambahan) sebagai kepala sekolah untuk memahami bahwa tugas seorang kepala sekolah sangatlah berat. Harus mampu menjadi pendidik (educator), manajer, administrator, supervisor, leader, innovator, motivator dan entrepreneur (EMASLIM-E). Kemampuan yang harus dimiliki seorang kepala sekolah sangatlah berat jadi perlu sebuah ikhtiar dan kompetensi yang jelas dan mumpuni.
Pepatah bijak menyatakan, tidak ada sekolah yang buruk dengan kepala sekolah yang baik. Tidak ada sekolah yang baik dengan kepala sekolah yang buruk. Pernyataan ini menjelaskan tentang urgensitas dan strategisnya peran seorang kepala sekolah yang menurut Permendiknas sebagai “tugas tambahan.” Menurut penulis seorang kepala sekolah memiliki tugas berat untuk membangun satuan pendidikan secara maksimal. Tugas kepala sekolah bukan tugas tambahan apalagi mencari “tambahan” di satuan pendidikan .
Kepala sekolah adalah lokomotif dari suksesnya proses pendidikan. Ia harus menjadi orang pertama dalam berbagai hal di satuan pendidikan yang dipimpinnya. Orang pertama yang masuk sekolah sebelum guru dan siswanya. Orang pertama yang mengetahui informasi terbaru. Orang pertama dalam melakukan perubahan/inovasi pendidikan. Orang pertama dalam memberikan keteladanan. Orang pertama dalam menerima resiko di satuan pendidikannya.
Kepala sekolah harus “cepat” dan harus “terlambat.” Cepat (paling dulu) datang ke sekolah sebelum guru-guru lain datang. Harus terlambat (terakhir) yakni “terakhir meninggalkan sekolah setelah bawahannya (semua warga civitas akademika) selesai bekerja.” Kedaulatan sekolah, keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan satuan pendidikan bagian dari tanggungjawab leadership dan manajemen seorang kepala sekolah.
Sebaiknya kita para pekerja pendidikan mengapresiasi pepatah kritis Prof. Ibrahim Bafadal yang menyatakan “Tidak ada anak yang tidak bisa dididik, yang ada guru yang tidak bisa mendidik. Tidak ada guru yang tidak bisa mendidik, yang ada kepala  sekolah yang  tidak bisa membuat guru bisa mendidik.” Pepatah kritis ini menjelaskan bahwa seorang kepala sekolah adalah penentu utama dinamika satuan pendidikan.

No comments :

Post a Comment

Mohon komentar yang konstruktif dan positif, terima kasih.